Kemiskinan di Sekitar Kita dan Balita yang Tak Bersalah


Sore itu nampak seperti sore yang seperti biasanya. Bus Trans Semarang berwarna merah melaju menghampiri shelter tempat saya menunggu. Setelah masuk dan mendapatkan tempat duduk saya merebahkan diri karena lelah. Terkadang saya bepergian menggunakan Trans Semarang, kebetulan sore itu adalah perjalanan pulang dari kampus ke rumah.
 
Bus nampak tak padat. Kursi di seberang tempat saya duduk ditempati oleh 3 wanita, dua di antaranya mbak-mbak berusia sekitar 20-an dan 30-an dan satu ibu-ibu berusia lebih dari 40 tahun. Mereka semua berpakaian serupa, maaf, kaos dan celana pendek yang terlihat kumal. Mereka mengenakan sandal jepit dan memiliki rambut yang awut-awutan kasar karena sering terpapar sinar matahari. Dua wanita termuda masing-masing memangku balita laki-laki yang kira-kira usianya tak lebih dari 3 tahun. Tak jauh dari penampilan wanita-wanita itu, kedua balita tersebut juga memakai pakaian yang sangat lusuh dan tak terawat.  
 
Bukan, bukan soal penampilan yang saya ingin bahas. Adalah kejadian selanjutnya yang ingin saya ceritakan disini, kejadian yang membuat hati saya bergejolak prihatin.

Salah satu balita yang sedang berdiri diapit di antara paha mbak-mbak termuda
itu tiba-tiba tak sengaja menjatuhkan kotak minuman teh dari pegangannya, tak
ada air yang tumpah karena kotak teh itu telah kosong, tak ada yang tersakiti
oleh jatuhnya kotak minuman tersebut, namun setelah kotak itu diambil kembali
oleh mbak termuda itu dia kemudian langsung menampar bibir si balita dengan
kotak itu dan membentak  dalam bahasa jawa “meneng!” yang artinya diam. Saya yang berada persis di depannya langsung syok, nampak balita tersebut juga syok dengan tamparan yang tiba-tiba. Balita tersebut terdiam dan tentunya karena belum bisa bicara dia tak menyatakan apa-apa. Sungguh sikap yang amat kasar kepada seorang balita tak bersalah. Bukan salah balita karena tak sengaja menjatuhkan barang, toh balita itu juga tak membuat kegaduhan di dalam bus. Tak pantas kemudian menampar seorang balita dan berkata kasar seperti itu. Dalam kesempatan berikutnya si balita juga dikatai “goblok, hahaha” oleh mbak-mbak tersebut, padahal si balita itu hanya bermain-main dengan botol air mineral, tak ada alasan bagi mbak-mbak itu untuk mengatai si balita dengan kata goblok.

Tentu tak hanya saya yang risih dengan perlakuan mbak itu, ibu-ibu penumpang di sekitar saya pun sempat terlihat kaget ketika si mbak mengucapkan kata goblok.
 
Beberapa menit kemudian bus berhenti di halte selanjutnya untuk menurunkan dan memasukkan penumpang baru. Duduklah penumpang ibu-ibu ke bangku kosong persis di sebelah mbak-mbak termuda itu. Tak berapa lama si mbak memiringkan kepala dan mendekatkan bibirnya ke telinga penumpang ibu lalu berbisik-bisik sesuatu. Saya tak dapat mendengarnya, namun jawaban penumpang itu selanjutnya cukup bagi saya untuk menyimpulkan apa yang dibicarakan mbak itu, si ibu lantas menjawab dalam bahasa jawa yang artinya “wah, saya nggak ada uang mba”, setelah itu mbak-mbak itu melengos tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
 
Beberapa saat kemudian salah satu penumpang ibu-ibu, yang tadi juga terlihat kaget dengan ucapan goblok, menanyakan salah satu mbak-mbak yang usianya relatif lebih tua dan berambut cepak (bukan mbak-mbak yang mengucap kata goblok), si ibu bertanya dalam bahasa jawa dan dijawab pula oleh mbak-mbak itu dalam bahasa jawa, begini isi percakapan mereka:
 
Ibu-ibu penumpang: “Mau
kemana mba?”
 
Mbak rambut cepak: “ke…
(menyebut nama daerah yang saya kurang tau)…, bu”
 
Ibu-ibu penumpang: “ooo,
buat apa?”
 
Mbak rambut cepak: “cari
uang sedikit-sedikit, bu”
 
Ibu-ibu penumpang: ooo,
kerja apa?”
 
Mbak rambut cepak: “ngemis,
bu”
 
Jadi mereka adalah pengemis. Yang membuat saya lebih terhenyak, mbak termuda itu kemudian mengeluarkan dot dari kantong celananya dengan cari menarik ujung dot bayi dengan jarinya untuk diberikan kepada si balita.
Dot itu hanya dimasukkan di kantong celananya tanpa ada tutup botol dot, pusing saya membayangkan higienitasnya. 

Dugaan saya ketiga wanita itu membawa dua balita ketika mereka hendak mengemis adalah sebagai ‘alat’. Ya, balita-balita itu dijadikan alat pelengkap saat mengemis agar orang-orang mengasihani mereka untuk kemudian bersedia memberi mereka uang.

Saya sangat geram setiap teringat kejadian itu. Di depan mata saya sendiri, seorang perempuan muda menampar bibir balita dengan kotak teh ketika si balita bahkan tak melakukan kenakalan apapun. 

Dari kejadian itu, saya bisa melihat kerasnya kehidupan pengemis jalanan.
Terutama anak-anak. Balita-balita itu sejak kecil sudah “bermain” di jalan, digendong di bawah teriknya sinar matahari, harus menghirup asap kendaraan yang berbahaya, minum minuman dari tempat yang diragukan higienitasnya, diperlakukan oleh kasar oleh orang yang membawanya (saya rasa balita-balita itu bukan anak mbak-mbak itu, kalau pun balita itu adalah anaknya berarti mbak termuda itu bukanlah contoh orang tua yang baik).

Terlepas dari masalah kemiskinan yang sangat kompleks (penyebab dan siapa yang harus bertanggung jawab), saya sangat prihatin dengan mereka-mereka yang menggunakan anak-anak untuk dilibatkan mengemis. Lingkungan yang tidak sehat pasti akan mengganggu kesehatan si balita baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Selain itu, mereka juga tidak tau bahwa perlakuan kasar mereka dapat mempengaruhi perkembangan psikis seorang anak. Balita adalah anak-anak dalam usia emas dimana otak dan fisiknya sedang berkembang dan masa-masa itu adalah fondasi bagi si balita untuk menyerap berbagai informasi yang berguna untuk perkembangan usia selanjutnya.
Bagaimana perilaku balita-balita itu ketika tumbuh dewasa nanti jika masa-masa emasnya dipenuhi dengan lingkungan sosial yang buruk?

Saya tidak mungkin kemudian menjadi aktivis dan memberi penyuluhan parenting untuk pengemis-pengemis itu. Ibarat arang habis besi binasa. Untuk kebutuhan dasar saja mereka tak sanggup mencukupi apalagi untuk belajar mengetahui bagaimana cara mendidik anak dengan baik.

Saya bukan superhero yang bisa mengubah nasib pengemis itu, bahkan pemerintah pun tidak dapat melindungi semua anak meskipun sudah ada undang-undang yang mengatur tentang perlindungan anak.

Tapi saya tau apa yang harus saya lakukan ke depannya. Kelak jika saya punya
anak nanti, saya akan bekerja keras dan memberikan lingkungan serta pendidikan terbaik untuk anak saya. Untuk saat ini, mungkin saya dan kita semua bisa melakukan hal-hal kecil untuk lingkungan sekitar, misal kepada adik, keponakan, saudara atau tetangga anak kecil. Cukup dengan memberi mereka perhatian, tidak berkata kasar, dan bisa menjadi teladan yang baik dalam kehidupan sehari-hari.


Karena masa depan bangsa berada di tangan anak-anak kecil ini.

 

Leave a Comment

This error message is only visible to WordPress admins

Error: No connected account.

Please go to the Instagram Feed settings page to connect an account.